Pontianak (Suara Pontianak) - Aliansi Gerakan Kalimantan Barat Memanggil menggelar aksi dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional, dengan fokus pada berbagai permasalahan buruh yang dinilai belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pada Kamis (1/5/ 2025).Buruh di Kalbar gelar aksi dalam peringatan Mayday atau Hari Buruh 2 Mei 2025. SUARAPONTIANAK.COM/Rifqi
Menurut Koordinator aksi, Yetno, kebijakan seperti Undang-Undang Omnibus Law, UU Ketenagakerjaan, dan UU TNI merupakan bentuk regulasi yang justru merugikan buruh.
“Kami menolak berbagai undang-undang yang tidak pro terhadap rakyat, termasuk rencana UU Polri yang masih digodok,” ujar Yetno.
Selain menolak kebijakan tertentu, peserta aksi juga menuntut agar pemerintah segera mengesahkan undang-undang yang melindungi hak masyarakat adat dan buruh perkebunan sawit. Mereka menilai kedua kelompok ini masih belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
“UU Masyarakat Adat dan UU Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit harus segera disahkan, mengingat luasnya lahan sawit di Kalimantan Barat dan banyaknya buruh yang terlibat,” jelas Yetno.
Permasalahan ketenagakerjaan di sektor perkebunan juga menjadi sorotan utama dalam aksi tersebut. Banyak buruh yang sudah bekerja bertahun-tahun masih berstatus harian lepas dan belum diangkat menjadi karyawan tetap.
“Banyak buruh yang sudah bekerja hingga delapan bahkan sepuluh tahun, tapig tetap tidak diangkat. Ini sangat tidak manusiawi,” tegas Yetno.
Aliansi juga menyoroti masih buruknya pemenuhan hak-hak normatif buruh seperti upah layak, akses air bersih, dan fasilitas kerja yang memadai. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap perusahaan perkebunan.
“Banyak perkebunan yang tidak memenuhi standar keselamatan dan kesehatan kerja. Air bersih saja masih menjadi masalah di beberapa lokasi,” ucapnya.
Di samping persoalan buruh, Aliansi juga menyoroti skema kemitraan antara perusahaan dan petani plasma yang dinilai tidak transparan. Banyak petani merasa dirugikan karena tidak mendapatkan hasil yang sesuai dari lahan yang mereka serahkan.
“Petani yang menyerahkan satu hektare lahan hanya menerima Rp100 ribu hingga Rp500 ribu per bulan. Ini sangat jauh dari kata adil,” tutur Yetno.
Aksi tersebut juga membawa perhatian terhadap kasus di Sambas, di mana tujuh buruh dari PT Duta Palma yang kini berganti nama menjadi PT Agrinas Palma Nusantara belum mendapatkan pesangon usai PHK. Mereka masih belum mendapat kepastian status kerja maupun kompensasi.
“Hak pesangon mereka belum dibayarkan sampai sekarang, padahal perusahaan sudah berganti nama,” kata Yetno.
Melalui aksi ini, Aliansi Gerakan Kalimantan Barat Memanggil berharap pemerintah segera mengambil tindakan tegas untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang menimpa buruh, terutama di sektor sawit yang sangat dominan di wilayah tersebut. [rif]
Baca juga:
Komentar