Pontianak (Suara Pontianak) – Praktik pertanian monokultur kelapa sawit atau yang disebut “hegemoni sawit” di Kalimantan Barat semakin mengancam keberlanjutan sektor pertanian lokal dan ketahanan pangan masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Richardus Giring, Wakil Direktur Institut Dayakilogi, dalam Talkshow ELSAM yang digelar di Pontianak, Senin (21/4/2025).Suasana Talkshow ESLAM dengan tema pangan alternatif dalam hengmoni sawit yang dilaksanakan pada Senin (21/4/2025).SUARAPONTIANAK/SK
“Saat ini, masyarakat mulai menggantikan tanaman karet dan jenis pertanian lain dengan sawit, karena merasa dikelilingi oleh lahan-lahan sawit. Ini menciptakan tekanan sosial dan ekologis yang besar,” ungkap Richardus.
Menurutnya, maraknya alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit dipicu oleh daya tarik ekonomi komoditas tersebut. Namun, konsekuensinya adalah hilangnya keanekaragaman pertanian serta meningkatnya kerentanan masyarakat terhadap krisis pangan.
Perubahan pola tanam ke arah monokultur sawit secara masif dinilai telah menggeser fungsi lahan pangan, seperti sawah dan kebun hortikultura, menjadi lahan industri perkebunan.
“Jika tren ini terus berlanjut tanpa pengendalian, masyarakat Kalbar bisa kehilangan kemampuan memproduksi pangan sendiri. Kita bisa menjadi sangat tergantung pada pasokan dari luar, bahkan impor,” jelasnya.
Richardus juga menekankan bahwa lahan hutan yang dulunya menjadi sumber kehidupan masyarakat adat dan petani kini mulai hilang secara signifikan akibat ekspansi sawit yang agresif.
Situasi ini, menurut Institut Dayakilogi, membutuhkan perhatian serius dan intervensi kebijakan dari pemerintah, agar pengembangan sawit tetap memperhatikan keseimbangan ekologis dan sosial.
“Saya harap ada kebijakan yang berpihak pada ketahanan pangan lokal dan keberlanjutan lingkungan. Pemerintah harus menggandeng masyarakat sipil, akademisi, dan perusahaan untuk bersama-sama mengendalikan ekspansi sawit,” tegas Richardus.
Ia juga mengusulkan perlunya zonasi ketat dan audit lingkungan terhadap izin-izin perkebunan sawit, serta mendorong diversifikasi pertanian sebagai langkah nyata melindungi ketahanan pangan.
Sementara sawit telah menjadi tulang punggung perekonomian Kalimantan Barat, tantangan terhadap keberlanjutan lingkungan dan pangan tidak bisa diabaikan.
Dengan lebih dari 1 juta hektare lahan sawit yang tersebar di berbagai wilayah Kalbar, pengelolaan tata ruang dan pemanfaatan lahan menjadi krusial agar konflik lahan, degradasi lingkungan, dan kemiskinan struktural tidak menjadi warisan jangka panjang.[SK]