![]() |
Ilustrasi buku. (Shutterstock) |
Karenanya, daripada membaca buku dengan gaya yang yang terkesan kaku, banyak pembaca yang lebih memilih membeli buku dengan bahasa asli si penulis, meski berisiko menemukan banyak kata dan kalimat bahasa yang kurang dipahami.
Editor Buku Nonfiksi Gramedia Pustaka Utama Niken Rachmadi bercerita, sebelum memilih buku karya penulis luar yang akan diterjemahkan, penerbit akan lebih dulu melihat respon pasar di negara asal ataupun referensi internasional.
"Untuk buku terjemahan yang kami ambil, khususnya nonfiksi, kami melihat bagaimana respons dan rekam jejak buku itu di market, asalnya atau patokan internasional, misalnya The New York Times Best Seller," ujar Niken kepada suara.com dalam acara peluncuran buku milik Erwin Parengkuan 'From Powerful Words to Powerful Action', Sabtu (22/8/2020).
Setelah mendapat persetujuan untuk diterjemahkan, biasanya penerbit akan menyerahkan naskah ke penerjemah atau tim penerjemah buku dari luar penerbit. Mereka adalah penerjemah yang sudah ahli di bidangnya dan telah menerjemahkan beberapa buku.
Sedangkan untuk menjamin bahasa yang digunakan enak dicerna alias mengalir seperti bahasa aslinya, kata Niken, pihak penerbit akan benar-benar dikawal.
Alhasil, jadilah biasanya buku terjermahan akan mendapat penggarapan waktu yang lebih lama daripada buku lainnya untuk mencari penyesuaian bahasa agar lebih mengalir. "Inilah yang membuat beberapa buku terjemahan terbitnya lebih lama dari buku aslinya," terang Niken.
Pemilihan penerjemah ini kata Niken, memang sangat disesuaikan dengan kenyamanan antara penerbit atau editor dengan penerjemah yang sudah berpengalamaan, atau penerjemah sudah tahu karakter dari buku yang diterjemahkan. "Biasanya kami kerjasama dengan satu tim penerbit.
Tergantung preferensi editor juga sebenarnya, ada yang sudah cocok sama satu penerjemah jadi selalu langganan," tutupnya.
Sumber : Suara.com, Selengkapnya DISINI