![]() |
| Korban kebakaran, Gustini Nani saat melihat puing rumahnya yang sudah hangus terbakar api.SUARAPONTIANAK/SK |
Peristiwa terjadi sekitar pukul 01.00 WIB saat rumah sedang kosong. Sejak sore, Nani mengalami sakit kepala dan memilih beristirahat di kos anak perempuannya. Putranya yang berusia 19 tahun menjadi satu-satunya penghuni rumah pada malam kejadian.
Menurut cerita Nani, sang anak baru selesai makan dan hendak tidur. Karena sulit terlelap, ia keluar sebentar untuk membeli rokok. Namun ketika kembali, rumah yang ditinggalnya itu sudah diselimuti api.
“Dia bilang cuma beli rokok sebentar, tahu-tahu pas pulang api sudah menyala,” ujar Nani.
Nani baru mendapatkan kabar sekitar pukul 01.30 WIB. Meski masih merasa lemah akibat sakit, ia langsung menuju lokasi. Sesampainya sekitar pukul 02.00 WIB, api masih berkobar dan petugas damkar belum berhasil menjinakkan si jago merah.
“Sampai di sini jam dua. Api masih belum padam. Saya syok saat tahu rumah sudah terbakar. Waktu itu vertigo saya juga belum hilang,” tuturnya dengan suara bergetar.
Tidak ada harta benda yang bisa diselamatkan. Rumah kontrakan seharga Rp450 ribu per bulan yang sudah ia tempati lebih dari setahun itu kini hanya menyisakan tumpukan arang dan puing bangunan. Tempat tinggal yang selama ini menjadi pelindung keluarganya musnah tak bersisa.
Usai kebakaran, Nani mengaku bingung harus tinggal di mana. Ia berharap bantuan dapat datang dari pemerintah, lembaga sosial, maupun para dermawan.
“Saya tidak tahu lagi mau ke mana. Saya cuma berharap ada bantuan,” ucapnya lirih.
Nani sehari-hari bekerja sebagai pedagang asongan di kawasan pelabuhan. Namun belakangan, ia tidak lagi diperbolehkan berjualan dan hanya sesekali diizinkan oleh warga sekitar karena belas kasihan.
“Sekarang tidak boleh, sudah diusir tidak boleh jualan. Cuma orang-orang itu kasihan sama saya, dibolehkan jualan karena saya bilang mau bayar kontrakan,” tuturnya.
Di antara puing-puing hitam yang masih mengepulkan asap, Nani berdiri memandangi sisa-sisa rumah yang pernah menjadi tempat ia berjuang membesarkan anak-anaknya. Kini, ia harus memulai dari titik nol, berharap ada tangan yang terulur untuk meringankan beban hidupnya.[SK]
