Film Panglima Burung Berpotensi Rusak Citra Suku Dayak di Kalimantan

Editor: Redaksi author photo
BEREDARNYA cuplikan Film Panglima Burung, Produksi Pusaka Borneo Film yang dibisa diunduh di: https://www.youtube.com/watch?v=bgh1yNewfn0 dari aspek karya seni patut diapresiasi, tapi dampaknya terhadap ranah psikologis masyarakat, dalam takaratan tertentu patut diduga berpotensi merusak citra masyarakat Suku Dayak secara keseluruhan di Kalimantan secara keseluruhan, dengan sejumlah alasan sebagai berikut:

Pertama, sejauh pemahaman saya, Pak Burung terlibat dalam Perang Majang Desa di Meliau, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat melawan Jepang yang menyebabkan tewasnya Pang Suma alias Minera (13 Mei - 31 Agustus 1945).

Kedua, Pak Burung alias Pang Burung (mantan Ajudan Pang Dandan) oleh Gubernur Kalimantan Barat, Brigjen TNI Kadarusno, dipertemukan dengan Pejabat dari Kedutaan Jepang di Pontianak, 30 Juli 1981, saat penyerahan tengkorak tentara Jepang yang jadi korban Perang Majang Desa (baca buku Pak Jacobus Frans Layang dan buku: Perjalanan Sosial dan Politik Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Barat dari Era Kolonial Sampai 2017).

Ketiga, Pak Burung alias Pang Burung adalah tipe masyarakat Suku Dayak yang sederhana dan profilnya pernah dimuat di Majalah DUTA, 1992, media cetak Keuskupan Agung Pontianak, dan beliau sudah meninggal dunia beberapa tahun kemudian. Pastor Petrus Apot Pr (Piet Apot) yang sekarang bekerja di Keuskupan Sintang, mengetahui siapa itu Pang Burung, karena pernah menulis figur yang bersangkutan saat bekerja di Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Pontianak.

Keempat, untuk sebuah produk film, idealnya kita lebih berhati-hati mengungkap kesaktian seseorang, karena karakter Suku Dayak di Kalimantan, patut diduga sama dengan Suku Naga di India Timur, dan salah satu kelompok masyarakat di Taiwan yang memiliki kesamaan bertutur dengan Suku Dayak Bakatik di Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat. Atas dasar fakta ini, bagaimana mungkin kita lalu kemudian mengklaim Suku Dayak satu-satunya suku paling sakti.

Kelima, dalam kehidupan global kita idealnya memahami terlebih dahulu akar budaya masyarakat, karena Filsuf Thomas Aquinas, 1225 - 1274, dengan teologi adikodrati atau teologi naturalis alamiah, menegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.

Keenam, dengan konsep pemahaman point kelima di atas, haruslah dipahami Suku Dayak memiliki cara, pola dan tatacara sendiri berkomunikasi dengan Tuhan, termasuk di antaranya tingkat kemampuannya bagaimana Suku Dayak, dalam hal-hal tertentu mampu berkomunikasi dengan Roh Leluhur. Lihat tatacara ibadat Agama Kaharingan dengan Kitab Suci Panaturan dan tempat ibadat bernama Balai Basarah. Atau, insiden paling berdarah dalam sejarah interaksi sosial antar mayarakat di Kalimantan, di antaranya peristiwa Mangkok Merah dalam kerusuhan di Provinsi Kalimantan Barat dalam operasi militer penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/PARAKU), September - Desember 1967 dan di Sampit, Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2001.

Ketujuh, jika kita kurang bijak memahami aplikasi seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya, di antaranya akan beredarnya Film Panglima Burung, dikhawatirkan masyarakat Suku Dayak dalam takaran tertentu bisa dicap patut diduga primitif, jika tidak terima dituding biadab. Atau dalam takaran tertentu Suku Dayak dengan mudah diperalat demi kepentingan pragmatis oleh oknum internal dan eksternal.

Penulis: Aju, Bengkayang (Wartawan dan Penulis Buku)
Share:
Komentar

Berita Terkini